Independensi di Tengah Berbagai Kepentingan

Catatan: SOFYAN TAHA
SAYA adalah seorang anak desa yang terlahir dari keluarga sederhana. Di mana kedua orang tua hanya berprofesi sebagai petani kelapa dalam di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Sehingga, masa kecil saya sempat tinggal bersama orang tua di bawah pohon kelapa kawasan perkebunan Bungkang di desa setempat.
Sebelum akhirnya saat duduk di bangku kelas III Sekolah Dasar (SD) pindah, dan tinggal bersama kakek dan nenek di kota Luwuk. Dan bersekolah di SD Cokroaminoto Luwuk.
Hingga tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) Cokroaminoto Luwuk. Tanpa disangka meski saya sadar seperti sebagian anak lain relatif nakal. Dan tidak bersedia melanjutkan sekolah ke sekolah yang lebih tinggi. Apalagi harus jauh karena khawatir merugikan orang tua yang hanya seorang petani.
Namun dengan terpaksa saya ikuti perintah atau ajakan Paman atau saudara kakek dari Ibu yang sudah lebih dulu merantau. Usai sekolah di Kairo Mesir kemudian membagikan ilmu yang didapatnya ke orang lain khususnya di Jakarta.
Saya pun melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi Universitas Nasional (UNAS) Jakarta dengan memilih masuk Fakultas Hukum angkatan tahun 1995.
Semasa kuliah sebelum masa reformasi 1998, saya pun sempat diajak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Yaitu masuk sebagai pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Hukum, Anggota Persatuan Sepak Bola Mahasiswa (PSM) UNAS.
Dan juga sebagai wartawan pada media kampus, Harian Mahasiswa (HAMAS) UNAS Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Hingga tidak lagi eksis pasca Reformasi dan saya pun menamatkan kuliah di tahun 2001.
Saat itu lah saya mulai belajar sedikit politik. Yang awalnya saya terpanggil masuk organisasi dan aktif sebagai wartawan media kampus tersebut, dengan motivasi sangat idealis agar bisa independen atau bebas dari pengaruh tertentu dari luar. Namun, kenyataan saya melihat teman-teman organisasi justru memiliki kepentingan bahkan agenda setting lain.
Termasuk di antaranya mempengaruhi perhatian khususnya mahasiswa lain terhadap isu-isu menyangkut pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah Presiden RI, Soeharto saat itu.
Memang bukanlah kepentingan bisnis karena masih masa kuliah. Akan tetapi, ada pula kepentingan lain yang terselubung. Yaitu untuk membuka akses bisa dekat dan disegani oleh mahasiswa di organisasi lain termasuk di kampus lain. Dan juga tenaga pendidik atau dosen-dosen, lebih khusus yang menduduki pula jajaran Dekan Fakultas Hukum.
Di mana saat itu sempat mengenyam materi kuliah seperti di antaranya dari dosen bergelar Doktor hingga Professor, Baharudin Lopa, Harun Ar Rasyid, Andi Hamzah, dan lainnya.
Ketika selesai kuliah dan memilih berkecimpung dalam dunia kerja, yaitu sebagai wartawan. Awalnya saya bekerja di media Luwuk Post yang merupakan grup Jawa Pos.
Kemudian pindah ke media Banggai Raya yang merupakan grup Mercusuar Palu. Sebelum akhirnya pindah kembali dan bekerja di media Banggai News sampai saat ini dan sudah bergerak dalam bidang usaha media online. Barulah saya tersadarkan.
Di semua media tempat bekerja. Memang semua organisasi kewartawanan maupun lembaga berkompeten yang menaungi yaitu Dewan Pers. Aturan telah dibuat yang melarang seorang wartawan masuk apalagi sebagai pengurus masuk partai politik (Parpol) ataupun sebagai kandidat Calon Legislatif (Caleg) maupun Calon Kepala Daerah (Cakada). Termasuk pula meski hanya sebagai Tim Sukses (TS) kandidat. Kecuali harus non aktif atau mengundurkan diri dari profesi wartawan.
Namun, jika dicermati lebih jauh dan dalam. Tidak bisa dipungkiri masih ada saja oknum wartawan yang tidak mengindahkan larangan-larangan tersebut.
Hal itu bisa dicermati dari jejak digital. Seperti misalnya dalam liputan berita-berita politik dari seorang wartawan atau media. Ada yang intens menulis capaian salah satu parpol maupun kandidat. Sementara media yang lain tidak.
Tidak menutup kemungkinan seorang wartawan atau media lain, tetap punya keberpihakan kepada pada parpol dan kandidat lain.
Sehingga seperti wartawan maupun media-media kecil, saat ini memang terpaksa harus pandai melihat peluang. Apalagi jika diperhadapkan dengan wartawan maupun media mapan yang terafiliasi dengan kelompok politik dan kepentingan tertentu.
Padahal, sejatinya tujuan aturan dibuat yang berisi larangan sangat baik. Namun sepertinya tidak bisa memberikan kebaikan dan sangat problematis. Sehingga, harapan besar wartawan maupun media benar-benar independen tidaklah mudah.
Dan oleh sebab itu pula, wajar jika ada sebagian pihak yang memberikan penafsiran sempit. Independensi media tidak ada lagi hanya karena tidak berani mengkritik kebijakan pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
Wartawan maupun media butuh hidup. Sehingga kepentingan politik berupa posisi tawar maupun kepentingan bisnis berupa profit yang diperoleh untuk menutupi biaya operasional, tidak mudah untuk didapatkan.
Hanya saja memang menjadi pekerjaan rumah (PR) dan tantangan khususnya saya sebagai penulis, untuk menjadi wartawan maupun pengelola media yang tetap belajar dan berupaya menyajikan berita fakta sesuai kode etik jurnalistik (KEJ).
Sambil tentunya berharap, ke depan pemerintah lebih memperhatikan kepentingan wartawan maupun media. ***
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik: Banggai News