Banjir Kabupaten Banggai: Pemberangusan Hutan dan Kegagapan Pemerintah Daerah
Oleh: Fajrianto
Pribumi Banggai dan Relawan Malang Corruption Watch
Di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah pada hari Kamis (28/7/2022) pekan kemarin, alam kembali bergema. Sungai meluap, ikan-ikan yang tak berdosa pun hanyut dibawanya dan menenggelamkan sejumlah pemukiman warga. Beberapa rumah rusak parah, jembatan putus, jalanan amblas dan lahan pertanian warga yang hijau berubah menjadi lautan bencana. Tidak lama setelah itu, ramai-ramai media sosial kita bersuara #Prayforbanggai. Pola semacam ini sudah bisa kita hafal; mula-mula muncul unggahan #prayfor…, lalu disusul dengan #opendonasi…, dan terkahir diakhiri dengan doa bersama (sofyan, 2021). Pola ini tidak salah dan keliru. Namun yang keliru adalah jika penyelesaian masalah banjir hanya dilalui dengan pola semacam tadi; prayfor, open donasi dan doa bersama. Tanpa melihat apa akar masalah yang menyebabkan bencana banjir terjadi.
Hemat saya, salah satu penyebab bencana banjir yang melanda beberapa daerah kecamatan-desa di Kabupaten Banggai tidak dapat dilepaskan dari tingginya angka pemberangusan hutan yang dilancarkan oleh korporasi beberapa tahun terakhir. Massifnya roda investasi sektor eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) seperti nikel, gas dan minyak bumi menyebabkan ribuan hektar kawasan hutan di babat habis demi kepentingan akumulasi. Hal ini berimplikasi pada kurangnya daya dukung vegetasi sebagai instrumen resapan air yang dapat mencegah banjir dan tanah longsor (Kodoatie, 2002).
Menurut data Global Forest Watch, dari tahun 2001 sampai 2021, Kabupaten Banggai telah kehilangan sebanyak 50.9kha hutan primer basah, menyumbang 46% dari total tree cover loss dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Banggai berkurang 9.5% dalam periode waktu ini. Selain itu, Kabupaten Banggai juga kehilangan 111kha tutupan pohon yang setara dengan penurunan 15% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 74.3Mt emisi CO₂e.
Menagih Janji Bupati
Visi Bupati Banggai Amir Tamoreka adalah “terwujudnya Banggai Maju, Mandiri, dan Sejahtera Berbasis Kearifan Lokal”. Sedangkan pilar ketiga misi yang tertuang dalam kampanyenya adalah percepatan penanggulangan bencana. Sekilas, misi ini perlu mendapatkan apresiasi karena memupuk semangat masyarakat untuk tanggap bencana. Namun dalam tataran implementasi, cukup sulit menemukan hal yang demikian.
Alih-alih peduli penanggulangan bencana, acapkali bupati justru terlihat riang bersua dengan korporasi pemberangus hutan. Akibatnya, aksi mitigasi terkesan di tinggalkan dan bencana pun tak terhindarkan. Maraknya bencana banjir yang terjadi secara berulang di Kabupaten Banggai cukup membuktikan bagaimana gagapnya pemerintah daerah dalam melakukan serangkaian upaya penanggulangan untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana.
Jika ditilik pada aspek yuridis, fenomena ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 5 UU a quo telah tegas memandatkan bahwa aksi penanggulangan bencana adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, kegagapan pemerintah kabupaten banggai dalam merespon dan menyelesaikan permasalahan banjir tidak hanya melukai hati publik atas janji suci kampanyenya, tetapi juga merupakan bentuk penghianatan terhadap amanat ketentetuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penanggulangan bencana juga haruslah dilakukan dengan bernafaskan asas dan prinsip-prinsip yang diatur; adil, cepat, tepat, berdaya guna serta nondiskriminatif. Agar pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan pelindungan dari dampak bencana dapat terlaksana sebagaimana mestinya (vide. Pasal 3 UU 24/2007).
Dari segi anggaran (budgeting), transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran penanggulangan bencana turut menjadi hal yang penting untuk di terapkan. Agar uang rakyat yang dikelola oleh pemerintah daerah dapat tersalurkan dengan baik untuk kepentingan rakyat; bukan untuk birokrat. Praktek korup dana bantuan sosial bencana pandemi yang dilakukan oleh menteri sosial (JB), serta keterlibatan beberapa anggota Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Indramayu, Bogor dan Jember sebagai tersangka kasus korupsi dana penanggulangan bencana beberapa waktu yang lalu cukup menerangkan bagaimana rentannya dana bencana untuk dikeruk oleh oknum-oknum pemerintah yang tidak bertanggungjawab.
(*)